Lifestyle Blogger Medan - PANAH CINTA (Short Story) - ceritagadiskecil.com : Lifestyle Travel Blogger Medan

Selasa, 16 Oktober 2018

Lifestyle Blogger Medan - PANAH CINTA (Short Story)

Dokumen by ceritagadiskecil.com

 Lifestyle Blogger Medan 
 

"Waalaikumsalam ukhti.... Iya ini sebentar lagi aku akan berangkat,"  
Saat mengangkat telpon, tangannya sibuk memasukkan beberapa barang yang akan dibawanya ke dalam tas. Setelah dirasa semua sudah beres. Gadis berkerudung merah jambu itu segera keluar dari kamarnya, sembari menenteng tas dan kamera digital yang menggantung di leher. Ia menemui sosok separuh baya yang sibuk menata makan siang di ruang makan.

          "Siang umi...."

          "Siang sayang.... Nampaknya kamu sudah siap?"

          "Iya umi.... Tadi Nisa baru aja telfon Bulan. Katanya, anak-anak di desa udah nunggui ke datangan Bulan,"  Rembulan menyantap sebentar sajian makan siang yang sudah dibuat oleh Uminya.

          "Umi... Bulan pergi dulu yaa... Salam buat Abi... Assalamualaikum," Gadis itu menciup pipi ibundanya.

          "Waalaikumsalam.... Hati-hati di sana ya nak," doa Umi.

Mobil yang menghantarakan Rembulan memasuki daerah yang sejuk, indah dengan pepohonan yang hijau nan rimbun, berbeda dengan suasana kota yang panas dan bising oleh kelekson kendaraan, perlahan suasana kota menghilang. 

Damai, tenang dan udara segar menggantikan. Di dalam mobil, gadis itu sibuk memotret pemandangan yang ia lalui. Ia tersenyum, merasa tak sabar untuk segera sampai dan bertemu dengan orang-orang yang telah menunggunya di sana.

         "Berapa lama kita akan sampai Pak?" ketidak sabaran Rembulan membuahkan pertanyaan kepada sopir yang menghantarkannya.

        "Setengah jam lagi kita akan tiba di pelabuhan Mbak," ujar sopir kiriman Nisa, sahabatnya.

Memelurkan waktu yang cukup lama untuk sampai di desa. Belum lagi, gadis itu harus menempuh perjalanan laut dengan sampan kecil yang hanya mampu mengangkut beberapa orang. Memang harus merasakan lelah terlebih dahullu untuk menikmati keindahan. Itulah yang sering dirasakan Rembulan.

Tiba di pelabuhan, ia bergegas keluar sembari menggendong tas bawaannya. Tidak banyak, hanya ada satu tas gendong dan satu koper kecil yang ia jinjing. Melihat, luasnya bentangan lautan yang diisi dengan air bergelombang. Tenang dan terkadang menakutkan. Itulah keadaan air di lautan. Rembulan tidak melihat satupun kapal atau sampan yang akan ia tumpangi.

          "Mbak... Sepertinya sampan dan kapal nelayan sudah tidak ada lagi. Kita sampainya kesorean..." keluh sopir dengan gurat kecemasan.

Rembulan menoleh lirih ke arah bapak yang memakai topi dan terlihat sedikit rambut putih yang menyembul di balik topi. Ada kecemasan terlihat di sana.

         "Apa Mbak Nisa tidak memesankan sampannya juga, Pak?"

        "Mbak Nisa tidak memberikan pesan soal itu kepada saya."

Mungkin Nisa lupa. Pikir Rembulan, matahari masih memancarkan sinarnya begitu terik di atas kepalanya. Rembulan mencari posisi yang tepat untuk mengambil potret yang bagus. Sedangkan bapak tadi, sibuk mencari sampan yang hendak Rembulan tumpangi, tampak sang bapak bertanya ke sana ke mari pada warga yang berada di sekitar pelabuhan.

Jemari gadis itu memutar ring fokus pada kameranya. Ia membidik satu jepretan alam yang indah, di tengah pelabuhan yang terasa sayup-sayup menghebuskan angin laut. Dalam kameranya, gadis itu menangkap satu bidikkan yang membuatnya tak puas melihat dari lensa saja. Rembulan menghentikan aktivitas memotretnya.

            "Mass....." Rembulan melambaikan tangannya, sedikit berteriak agar seseorang yang berada di dalam kapal kecil itu dapat mendengar dan melihat keberdaannya.
Hanya ada satu kapal kecil yang berlayar tak jauh dari posisi Rembulan berdiri. Mendengar teriakkan gadis itu, sang sopir ikut membantu agar sosok yang ada di dalam kapal mau mengarahkan kapal kecilnya ke arah mereka.

Beberapa menit menunggu, kapal kecil itu mendarat di hadapan Rembulan. Seseorang yang mengemudikan kapal dengan beberapa jaring ikan di dalamnya itu adalah seorang pemuda yang memakai kaos oblong dan celana kepper panjang.

               "Assalamualaikum... Maaf mas.. Bisakah antarkan saya ke Desa Jaring Halus yang ada di seberang sana?" ujar Rembulan dengan suaranya yang lembut.

                 "Waalaikum salam... Ukhti,"
Pemuda itu terdiam, berfikir sejenak sembari mengenali gadis yang ada di hadapannya.

"Tolong Mbak ini mas. Dia harus tiba di sana sekarang juga," ujar Sopir.

Pemuda itu mengangguk. Rembulan bisa bernapas legah. Akhirnya, ada juga yang akan menghantarkannya untuk berlabu ke desa yang berada di seberang sana. Di atas kapal kecil dengan aroma sedikit amis bersama jaring-jaring mata pencaharian, Rembulan duduk memandang luasnya alam. Ia tertegun, sesekali jemarinya menekan tombol potret pada kamera. Membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai ke darat.

Matahari mulai tertutup awan, warna jingga menghampar di atas sana. Pemandangan yang luar biasa, namun kenapa gadis itu sedikit merasa resah? Ia belum membuka pembicaraan dengan pemuda yang mengemudikan kapalnya.

                 "Maaf mas jika saya ini merepotkan," Rembulan memulai pembicaraan. Rasanya bosan jika dalam keadaan hening.

                 "Ah.. Tidak apa ukhti... Saya juga memang hendak berlayar ke sana." Pemuda itu tersenyum manis.

Sejak lima belas menit bersama, baru ini ia melihat senyum tulus dari pemuda yang ia repotkan itu. Rembulan mengangguk, keadaan kembali hening.

                "Saya Rembulan..." Gadis itu tersenyum sembari memberikan salam perkenalan tanpa berjabatan.

               "Busur...." pemuda itu mengangguk ke arah Rembulan.

Rembulan terkekeh sedikit mendengar namanya. Unik. Tanpa di sadari, gadis itu diam-diam memotret sang pengemudi kapal kecil, bernama Busur itu. Ia menyimpan satu foto tentangnya di dalam kamera.
Matahari perlahan mulai menghilang namun cahayanya masih terpancar. Ombak mulai mengguncang. Inilah alasannya kenapa tak ada satupun kapal atau sampan nelayan yang berlayar memburuh ikan. Ombak mulai enggan untuk tenang. Kapal kecil yang ditumpangi Rembulan mulai terguncang cukup goyang. Ia mencengkram ke dua sisi kapal. Disimpannya kamera yang menggantung ke dalam tas. Tak hentinya gadis itu memohon keselamatan pada Allah.

Busur sedikit geli melihat ekspresi ketakutan gadis yang baru ia kenal.

                 "Tidak apa ukhti... Jam-jam segini air laut memang lagi pasang." Busur mencoba untuk menenangkannya.

Mendengar suara serak sendu dari pemuda itu. Rembulan langsung membuka matanya yang terpejam. Ia tersenyum malu. Malu karena ketakutannya yang memalukan. Saat hendak tiba di darat, sebuah kapal cukup besar berada di sisi kanan kapal kecil mereka. Tampaknya kapal itu juga ingin mendarat dan memakirkan kapalnya. Namun, saat bersamaan. Kapal kecil milik Busur menghantam sisi kanan kapal. Untung kapal kecil itu tidak terhempas. Namun, Rembulan menjerit.

               "Aaaw...." suara gadis itu melengking saat sisi kanan kapal bertabrakkan. Busur terhentak, sepontan ia mendekati gadis itu.

              "Ada apa ukhti?"

Rembulan mengkibas-kibas jemarinya dengan gurat wajah kesakitan. Tampak di salah satu jarinya keluar darah dan luka sedikit di sisi jarinya.

             "Jemari saya terhantam sisi kapal," Rembulan masih meringis.

Ombak kencang yang tadi mengguncang kapalnya, membuat gadis itu mencengkramkan tangannya di antara sisi kapal kecil. Hingga ia lupa melepaskan cengkraman itu. Sampai, jarinya terhantam oleh sisi kapal yang ada di sebelah kapal kecil mereka.

             "Masukkan jemari ukhti yang luka itu ke dalam air," pinta busur.

Rembulan menggeleng. Iya tau, pasti air laut yang asin itu akan membuat jemarinya yang luka terasa pedih.

             "Tidak apa ukhti... Nanti jemarinya semakin sakit jika tidak langsung diobati,"

Rembulan masih tidak mau. Ia tetap menggelengkan kepala. Busur meraih pergelangan tangan gadis itu. Tidak bersentuhan, melalui perantara kain baju yang dikenakan Rembulan. Busur memasukkan jemari yang luka itu ke dalam air laut yang asin dengan paksa.

Rembulan meringis, karena memang yang diduganya benar. Air asin akan memberikan rasa perih di tangannya. Tapi tidak lama rasa sakit itu, lama kelamaan rasa sakit pada tangannya menghilang.

              "Tidak sakitkan ukhti?" ujar Busur seakan tau apa yang ada di dalam hati Rembulan.

              "Iya.. Tidak," Rembulan menyengir.

Sesampainya di darat, tepatnya di gerbang Desa Jaring Halus. Rembulan melambaikan tangannya pada Busur sebagai tanda perpisahan.

              "Syukron... Busur..."

                                                                                
****
Nisa dan para warga desa Jaring Halus menyambut hangat ke datangan Rembulan. Malam mulai larut, ia langsung membagikan kisah seru kepada warga dan anak-anak desa yang penuh keakraban. Nisa sengaja mengundang gadis itu untuk membantunya, dalam menyukseskan agenda sosialisasi dari kampus tempat Nisa berkuliah.

                   "Asssalamualaikum... Selamat malam ibu, bapak, dan adik-adik semua.... Perkenalkan saya Rembulan. Temannya Nisa.. Senang bertemu kalian semua... Di sini saya akan berbagi sedikit kisah saya menjadi penulis travel,"

Rembulan merasa hangat dengan keakraban saat ia bercerita tentang pengalamannya. Mulai dari menjelajahi kota besar yang ada di Indonesia sampai pada kisahnya menelusuri tembok cina, yang hanya bisa dinikmati dari buku karangan atau media televisi saja. Menulis perjalananl yang menghantarkannya pada kisah-kisah seru di negeri orang tanpa membayar biaya sepeser pun.

Setelah pertemuan singkat dengan warga desa yang antusias mendengar pengalamannya. Nisa menghatarkan Rembulan ke tempat untuknya beristirahat,.

                     "Maaf ya Bulan. Tadi sopir ngabari ke aku kalau kamu susah dapat tumpangan untuk menyebrang ya..." Nisa membuka pembicaraan di tengah perjalanan menuju tempat bermalam Rembulan.

                      "Iya.. Mungkin kamu lupa untuk menyewakan satu kapal untukku. Tapi yasudahlah tidak apa, untung saja tadi ada pemuda yang baik," ujar Rembulan tersenyum mengingat pemuda itu.

                     "Alhamdulillah... Terus kenapa tanganmu sampai terluka?"

                    "Oh ini?" Rembulan melirik ke jemarinya yang belum terbungkus perban.

                   "Ada sedikit kejadian, saat tadi mau mendarat," lanjut Rembulan.

                   "Yasudah.. Kamu pasti lelah. Di kamar sudah ada perban, kamu obati lukanya yaa.. Selamat beristirahat. Dan sampai jumpa besok pagi, kita akan belajar bela diri besok. Assalamualaikum..." ucap Nisa saat tiba di depan kamar yang mereka tuju.

                     "Waalaikumsalamm..."
***

Tangguh!
Kekaguman itu yang berdecak di mulut para lelaki saat mengenal Adiba. Perempuan manis yang mengenakan cadar hitam serta pakaian yang serba tertutup. Gayanya anggun namun sikapnya sangat dingin.

                            "Bagus sekali Adiba... Kamu semakin fokus pada sasaran," suara itu mengusik konsentrasi gadis yang sedang fokus pada bidikannya.

Anak panahnya meleset pada titik sasaran yang salah. Gadis berniqab itu menghentikan aktivitas memanahnya. Di balik niqabnya terlihat senyum gembira, sosok yang baru saja hadir membawa suasana baru.

                           "Bukankah saat kita menginginkan sesuatu harus fokus pada sasaran?" Sahut Adiba pada pemuda yang pagi itu menggunakan seragam bela diri.

Adiba mencari posisi untuk duduk, melepaskan lelahnya. Cukup lama ia berlatih memanah, melatih konsentrasinya. Gadis itu meletakkan anak-anak panahnya.

                            "Ya, kamu memang pandai dalam berkonsentrasi pada sasaran. Itu karena hasil kerja kerasmu berlatih memanah sejak kecil, bukan?" Goda pemuda itu.

                          "Untuk menghasilkan yang pasti. Tentunya kita membutuhkan waktu yang lama.." cela Adiba.

                          "Oh ya.. Kita mendapatkan undangan dari mahasiswa yang bersosialisasi di desa kita. Mereka meminta kita untuk mengajarkan bela diri." Pemuda itu memberikan sebuah undangan kepada Adiba.

                          "Hah... Aku bisa apa Busur? Kau sajalah yang menghadirinya.. bukankah kau sangat hebat bela diri?" Tolak Adiba.

                         "Hanya kamulah pemanah yang selalu pesimis. Kamu punya banyak ilmu dan menguasai teknik memanah. Orang lain membutuhkan ilmu itu!" Ujar Busur.

Adiba tertegun. Pemuda itu selalu saja punya cara untuk membuat dirinya tidak menolak. Sejak kecil, mereka selalu beda pendapat. Dan Adiba selalu saja mengalah. Karena Busur mempunyai cara sendiri untuk membuat dirinya luluh.

***

Suasana pagi di desa Jaring Halus membuat Rembulan terkagum. Langit yang cerah dan kegiatan para warga yang siap untuk berlayar mencari ikan. Di satu pondok, anak-anak sedang berkumpul. Rencananya pondok itu akan menjadi perpustakaan kecil, yang akan dibuat Nisa. Namun, tampaknya pagi ini. Pondok itu diisi untuk suatu kegiatan yang dikatakan Nisa tadi malam. Ya, belajar bela diri. Anak-anak sudah bersiap-siap menerima ilmu bela diri. Ada yang bertingkah memasang kuda-kuda seperti para atlet bela diri yang sudah profesional.

                                   "Segar sekali udara pagi ini...." Rembulan menghirup udara pagi yang segar.

Gadis itu sesekali memotret kegiatan para warga. Sehingga menghasilkan foto yang menarik. Dengan menggunakan gamis santai serta jilbab yang menutupi dada, Rembulan berjalan menuju ke arah anak-anak di pondok yang sedang mendengarkan komando dari sahabatnya yang tangguh. Sebelum berada di antara mereka, tidak terlalu jauh. Rembulan mencoba membidik satu jepretan moment indah itu. Ia memutar ring fokus pada kameranya, matanya mengintip dari jendela kamera. Jemarinya hendak menekan tombol jepret. Namun, keinginannya itu terhenti saat melihat pemuda yang sama, pemuda yang menghantarkannya kemarin malam. Hanya saja, pemuda itu tampak lebih gagah menggunakan baju bela diri pencak silat. Dan satu lagi, ia bersama seorang wanita berniqab dengan seperangkat alat memanah di punggungnya.

Rembulan sempat terhanyut dalam lamunannya. Hingga ia tersentak, saat Nisa menyadari keberadaannya dan memerintahkan ia untuk segera bergabung dengan mereka.

                                 "Rembulan.. perkenalkan, mereka adalah pemuda desa di sini yang hebat dalam bela diri," Nisa memperkenalkan Rembulan kepada dua sosok di depannya.

Rembulan tersenyum pada Busur dan juga Adiba. Ia menganggukkan kepalanya.

                                "Assalamualaikum... Saya Rembulan," gadis itu mengangguk dan memperkenalkan dirinya.

                                 "Walalaikum salam," sahut Busur dan Adiba dengan berbarengan.

                                 "Bagaimana keadaan jemari kamu ukhti?" Tanya Busur membuat Adiba menoleh kepadanya. Tolehan pelan namun terasa tegas.

                                "Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Nisa.

                                "Ini loh Nis. Pemuda yang mau menghantarkanku semalam," ujar Rembulan begitu antusias.

                               "Iya ukhti. Saya kemarin sudah bertemu dengan Rembulan." Sambung Busur.

Adiba menatap sayu gadis yang tak kalah cantik di hadapannya. Ia menyelidiki ada gurat kekaguman di wajah gadis itu saat berbicara dengan Busur. Melihat gerak-gerik itu, hati Adiba menjadi gelisah. Entah kenapa, ia memiliki rasa takut kehilangan sahabat kecilnya, Busur.

Kegiatan sudah di mulai, masing-masing sibuk dengan posisinya. Busur terlihat sibuk mengajarkan anak-anak berlatih pemanasan dan teknik bela diri pencak silat, bela diri asli negara sendiri. Tampak antusias anak-anak mengikuti arahan Busur. Sedangkan, di sisi lain ada Adiba yang mengajarkan cara memanah kepada anak-anak yang memiliki rasa penasaran akan bela diri itu.

Nisa? Ya, sahabatnya itu sibuk untuk mempersiapkan kegiatan lainnya. Sedangkan Rembulan. Apa yang bisa dilakukannya? Gadis itu tak menguasai satupun bidang bela diri, ia hanya pandai memotret dan memilih Angle pengambilan gambar yang baik. Di tengah kesibukan Busur dan Adiba mengajarkan teknik bela diri. Rembulan sibuk memburu moment yang diabadikan melalui kameranya.

                                    "Pemuda itu... Mengagumkan.." Rembulan terkagum saat memandangi Busur. Di sisi lain, Adiba mempergoki gadis itu tengah terkagum-kagum pada sahabat kecilnya. Ada rasa aneh yang menyusup di hati gadis bersikap dingin dan tertutup itu. Cemburu? Ah.. rasanya itu rasa yang terlalu jauh. Bagaimana gadis sedingin Adiba bisa memiliki rasa cemburu. Tapi entah kenapa, tatapan kagum Rembulan kepada Busur membuat Adiba tidak fokus mengajarkan ilmu membidik kepada anak-anak di hadapannya.

Busur menyuruh anak-anak untuk mencoba berlatih apa yang sudah ia terangkan. Di sela kesenggangannya itu, Busur menghampiri Rembulan yang terlihat tertegun.

                                  "Bela diri mengajarkan kita untuk menjadi karakter yang baik," ujar Busur membuat Rembulan tersentak dari lamunannya.

                                  "Kamu hebat! Berapa lama biar bisa sejago itu?" Rembulan mengalihkan pandangannya ke pemuda yang sedari tadi ia pandangi.

Mendengar pertanyaan itu, Busur tersenyum. Ia mengerti saat ini, gadis cantik nan lembut suaranya itu tidak menguasai teknik bela diri. Beda halnya dengan Adiba. Busur duduk di perbatasan pondok, ada semacam bangku yang terbuat dari semen.

                            "Seperti kata Adiba, untuk menghasilkan yang pasti. Tentunya kita membutuhkan waktu yang lama," jawab Busur membuat Rembulan semakin terkagum.

Rembulan terdiam, terbawa pada hanyutnya  suara yang serak sendu. Ia tidak pernah memiliki rasa seperti saat ini sebelumnya. Memang terlalu cepat jika ia dituduh sedang jatuh cinta. Busur kembali bangkit dari posisinya. Ia kembali mengajarkan teknik bela diri kepada anak-anak. Sekarang gantian Rembulan yang terduduk memandangi suasana di sekitarnya.

Setelah selesai kegiatan bela diri hari itu. Semua berkumpul dan mengucapkan salam perpisahan pada anak-anak. Rembulan menghampiri Busur yang tampak kelelahan. Keringat pemuda itu membasahi wajahnya, Rembulan perihatin melihat itu. Ia memberikan sebotol air mineral.

                                      "Tampaknya melatih anak-anak untuk belajar bela diri itu melelahkan ya?" Ujar Rembulan sebagai kata pengantar dari sebotol air mineral yang ia sodorkan.

Busur menatap wajah gadis itu, yang malu-malu perlahan memalingkan pandangannya. Ia menerima air mineral yang kini diteguknya sampai habis.

                                       "Tidak juga! Hanya saja kita membutuhkan kesabaran yang lebih," sahut Busur.

Di tengah diskusi mereka. Adiba tampak menghampiri Busur dengan mengabaikan Rembulan. Bersama alat memanahnya, gadis itu terlihat muram. Walau hanya kedua mata saja yang dapat dilihat. Tapi gurat kekesalan itu dapat dimengerti.

                                          "Sudah selesai. Lebih baik kita pulang lebih awal," celetuk Adiba.

Rembulan menyembulkan senyum ramah pada gadis berniqab itu. Ia mencoba untuk akrab kepadanya.

                                        "Kenapa harus terburu-buru ukhti? Bisakah kamu ajarkan aku untuk memanah. Dan jadi pemanah yang hebat sepertimu?" Pinta Rembulan.

Adiba diam. Ia rasanya enggan untuk berbicara pada gadis yang sudah kurang ajar, diam-diam mengagumi sahabat kecilnya. Namun, Busur dengan antusias menyetujui pinta dari Rembulan. Bahkan, sebelum Adiba memutuskan kata iya.

                                      "Benar sekali! Seorang gadis harus bisa menguasai salah satu bela diri. Termasuk memanah. Ukhti.. tau gak? Kalau Adiba ini pemanah wanita yang tangguh. Ia sangat fokus pada sasarannya." Busur tampak tulus memuji Adiba.

                                    "Kalau begitu.. ukhti harus mengajarkanku agar aku bisa sehebat ukhti." Sahut Rembulan. Dengan paksa Adiba menerima permintaan itu. Sesungguhnya ia malas berlama-lama dengan gadis yang baru saja dikenalnya.

Adiba mengajarkan teknik memanah kepada Rembulan. Saat proses pembelajaran itu, kesalahan yang diperbuat Rembulan membawa tawa dan senyum di bibir Busur. Semakin Busur tertawa lepas melihat tingkah lucu Rembulan. Semangkin enggan Adiba mengajarkan teknik memanah yang ia miliki.

                                   "Yah.. inilah manusia. Kita diciptakan untuk berbeda. Busur bisa silat, Ukhti jago memanah. Dan aku? Hanya bisa memotret. Ya.. setidaknya tidak terlalu buruk," celetuk Rembulan memalingkan kebodohannya dalam memanah.
     
                                      "Butuh proses untuk belajar saja ukhti," sahut Busur menggugah semangat dan kepercayaan diri Rembulan.
Yang sedari tadi asik berbicara dan merasa suasana milik berdua, hanyalah Rembulan dan Busur. Walau mereka baru saling mengenal, tapi keakraban itu sangat terasa. Sampai-sampai Busur yang selalu memusatkan perhatiannya kepada Adiba. Malah mengabaikan gadis itu.

                                    "Assalamualaikum..." Pamit Busur dan Adiba menutup perjumpaan mereka dengan Rembulan dan Nisa.
***

Busur tidak konsentrasi pada latihan bela dirinya, beberapa pukulannya pada samsak tampak tidak mantap. Ia merasa bayangan gadis itu terus mengusik konsentrasinya. Entah rasa apa, kagum?

                                       "Gadis yang keras kepala," gumam Busur tersenyum mengingat gelengan angkuh Rembulan saat jemari gadis itu terluka.

Busur menghempaskan satu pukulan lagi pada samsaknya.


***

Dari dalam kamarnya, di samping jendela. Pemandangan di luar sana sungguh indah. Panorama sore yang disuguhkan Desa Jaring Halus untuk Rembulan. Langit sore yang berwarna jingga, mentari yang separuh menghilang. Memberikan inspirasi pada jemari lentik Rembulan menuangkan kegelisahannya akan sebuah rasa, ia tuangkan di laptop yang ada di hadapannya. Ia tersenyum saat mendiskripsikan sebuah foto yang dipotretnya kemarin. Foto pemuda yang tengah mengemudi sampan dengan senyum yang menawan.

                                 "Jika langit sore saja mampu membuatku terkagum. Senyum menawanmu wahai pemuda desa, membuatku tak berkutik sedikit pun."

Kata-kata manis itu ia tulis di laptop miliknya.  Pipinya tampak seperti mawar, merona karena senyum yang tak habisnya mengembang.

***



                              "Sendu, seribu haru... Kuputik bunga yang berpeluh di musim ini. Ku arahkan bidikkan, anak panah siap menyerang. Tak kurasa, hati mulai gelisah. Saat gadis itu mulai memandang. Busur, sahabat kecilku. Entah apa yang merasuk di kalbu. Tak kuinginkan rasa yang membuatku kelu. Cemburu atau hanya rasa semu?"

Gadis itu mengukirkan rasanya, hanya dengan sebuah pena berbentuk lama. Mirip seperti anak panah, dituliskannya rasa yang membuat hati serba salah. Di sebuah kertas.

Adiba larut dalam lamunannya, ia hendak menghabiskan semua rasa yang ada di dalam kertas genggamannya. Namun, apa daya. Busur hadir di tengahnya, membuatnya terkejut dan menyembunyikan kertas berisi rasa.

                                      "Sejak kapan gadis pemanah, mulai suka menuangkan kata dalam sebuah kertas?" Goda Busur membuat Adiba tersentak menyembunyikan kertas miliknya.

Gadis itu mencoba tenang, mengatur napasnya. Mencoba kembali pada dirinya yang misterius dan dingin. Sedikit berbicara, namun tepat pada sasaran. Itulah, Adiba.

Adiba bangkit dari posisinya, ia tak mampu menatap mata Busur. Wajahnya pura-pura fokus pada batang pohon yang menjadi sasaran anak panahnya.

                                                   "Menurutmu, cinta itu apa?" Kalimat maut dari mulut Busur membuat arah anak panah Adiba entah kemana, tidak tepat sasarannya. Fokusnya pecah, pertanyaan seperti apa itu? Tidak pernahnya, sahabat kecilnya itu membahas hal sensitif itu.

                                                    "Seperti memanah. Fokus pada satu titik yang ingin kau tuju. Maka itu lah cinta. Hanya satu titik fokusnya bukan dua atau tiga," jawab Adiba sedikit bergetar.

Busur terdiam. Dia terhenyak pada kalimat gadis di hadapannya. Cinta? Rasa? Busur pun tidak mengerti kenapa bibirnya kelepasan bertanya hal itu. Ia tersenyum.

                                  "Ya, kau benar. Terimakasih, Adiba. Assalamualaikum," Busur segera menghilang, Adiba belum selesai berkata. Gadis itu memalingkan wajahnya ke belakang. Dilihatnya tak ada lagi sosok yang membuat resah rasa.

***


Usai sudah, Rembulan menikmati indahnya desa Jaring Halus. Ia harus meniggalkan keakraban di sana. Setelah memeluk erat sahabatnya, Nisa. Rembulan sempat berfoto bersama dengan warga desa dan anak-anak yang lucu.

Nisa, sudah memesan sebuah kapal kecil untuk menghantarkan Rembulan ke seberang sana. Hari memang telah senja, sulit untuk berlayar. Tapi, Rembulan yang meminta. Ia ingin pulang dan menikmati perjalanan menuju daratan yang ada di seberang sana dengan memandang indahnya senja.

Sebenarnya, bukan itu alasan utama gadis itu. Ada alasan yang tersembunyi. Yang tak bisa ia katakan pada sahabatnya lagi. Sebuah kota berpita kuning. Di bawanya penuh dengan hati-hati. Ada sosok yang hendak ia temui sebelum pergi. Tapi, tampaknya ia tak tau bagaimana cara menemukan sosok itu.

Rembulan duduk di pasir tempat ombak menepi. Ia menunggu kapal kecil yang akan menjemputnya. Gadis itu menatap langit yang luas di atasnya, matanya terpejam. Ia sedang membayangkan sesuatu. Sesuatu yang pastinya indah.

                                          "Assalamualaikum ukhti... Maukah, saya hantarkan sampai di seberang sana?" Suara itu melenyapkan bayangan Rembulan. Matanya terbuka, menatap ke arah suara. Oh Tuhan.. hatinya hendak memekik, bayangan yang terpejam dalam angan kini hadir nyata di sampingnya.

                                               "Busur?" Pekik Rembulan tak percaya.

                                                 "Sudah terlalu sore.. ayo saya antarkan." Busur beranjak menghampiri kapal kecil yang terikat. Ia sudah bersiap-siap untuk berlayar.

Tak ada perbincangan serius. Rembulan hanya terdiam, ada kecanggungan di hatinya. Ia melihat kotak yang selalu dipegang. Sesekali gadis itu melirik Busur yang sibuk dengan kapal kecilnya.

                                                    "Ukhti.."
                                                    "Mas..."

Mereka membuka suara berbarengan. Rembulan menundukkan pandangannya. Raut malu-malu di wajah itu seperti sinar mentari yang enggan kembali.

                                           "Tidakkah ukhti bersabar untuk menikmati keindahan di desa kami beberapa waktu lagi? Apa, desa kami memberikan kesan yang tidak berkenan di hati ukhti?" Ada rasa kekecewaan di balik kalimat pemuda itu. Ia seakan menginginkan gadisnya bertempat di desa lebih lama lagi.

Rembulan langsung membantahnya dengan gelengan kepala. "Tidak! Desa Jaring Halus sangat indah.. tapi waktuku di sana telah usai. Aku harus kembali ke kota dan bergulat dengan kesibukan yang memuakkan di sana,"

Keadaan kembali hening. Beberapa waktu, Rembulan kembali membuka suara. Dengan nada yang malu-malu dan sedikit terdengar kaku.

                                        "Bersediakah, Mas menerima pemberian sederhana saya ini? Sebagai ucapan terimakasih telah menolong saya kemarin dan saat ini?" Gadis itu memberikan sebuah kotak yang dipegangnya sedari tadi.

Busur menatap kotak itu. Ia melirik kembali mata gadis di hadapannya, bola mata itu mencoba meyakinkannya untuk segera menerima pemberian dari pemilik bola mata.

                                                "Apa ini? Seharusnya ukhti tidak perlu berepot-repot. Saya ikhlas mebantu ukhti."

                                                  "Hanya kenangan sederhana. Tidak sampai merepotkan saya kok." Terang Rembulan dengan menguntaikan senyumannya.

Busur berhasil menghantarkan Rembulan ke seberang. Ini saat yang sulit. Ia harus berpisah dengan gadis yang mampu membuatnya peka pada rasa cinta. Rasanya, enggan sekali ia melepaskan gadis itu.

                                              "Jika ukhti ada waktu... Jangan sungkan untuk kembali. Kita bisa kembali belajar, atau ukhti mau belajar memanah dengan Adiba? Saya tidak akan keberatan," tawar Busur dengan harap gadis itu tidak kapok untuk kembali mengunjungi desanya.

Rembulan menjawab dengan senyum kebahagiaan, tawaran yang membuat rasanya semakin bergetar. "Pasti... Suatu saat saya akan kembali main kemari.. ke desa yang indah ini... Bertemu dengan warga dan anak-anak yang lucu di sana. Syukron atas tawarannya," ucap Rembulan.

                             "Hati-hati di jalan ukhti... Saya harus kembali sebelum ombak mulai tidak tenang. Assalamualaikum," pamit Busur.

                                  "Walalaikum salam, jangan lupa dibuka kotaknya ya.." pesan Rembulan dibalas dengan senyum perpisahan oleh Busur.


***

Busur sudah membuka kotaknya. Luar biasa, tidak pernah ia rasakan perasaannya seindah saat ini. Ia merasa, kesederhanaan gadis itu dengan kameranya membuat hatinya terkutuk pada cinta yang jauh. Ia berharap kisahnya belum sampai di sini. Ia menginginkan Allah mempertemukannya lagi di lain waktu.

Busur tertegun melihat isi kotaknya. Tidak mahal, namun sangat menganggumkan. Membuatnya bertanya, apa gadis itu punya rasa yang sama? Sebuah foto seketsa yang terbingkai rapih dalam ukiran klasik. Foto itu, foto dirinya saat awan berwarna jingga. Saat ia sedang mengemudikan kapal kecilnya, untuk menghantarkan seorang gadis kota ke desa tempatnya. Di foto itu ia tampak tersenyum bahagia. Ada sebuah puisi di baliknya. Puisi yang indah.

"Allah memiliki cara untuk mempertemukan hamba-Nya.
Dari cara yang biasa atau luar biasa. 
Namun, apapun cara Allah. 
Senja di kala itu mengatakan, senyum seorang yang tulus akan terlihat saat di kegelapan. 
Sama seperti teman hidup, kita akan tau ketulusannya pada kita di saat yang gelap."

Busur memutuskan untuk bertemu dengan Adiba di tempat ia berlatih memanah. Ia ingin membagikan rasa gembira itu pada sahabatnya. Seperti biasa, ia menemukan Adiba sedang fokus pada bidikkan-bidikkannya yang semakin jauh. Membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi untuk melesat dengan tepat.

Adiba terlalu fokus pada sasarannya, sampai-sampai ia tidak menyadari kehadiran Busur di balik punggungnya. Saat gadis itu mengambil satu anak panah yang ia gedong di punggungnya, sebuah kertas terjatuh. Busur teringat pada kertas itu. Kertas yang disembunyikan Adiba saat ia mempergokinya merangkai kata-kata dalam kertas itu. Busur iseng, ia meraih kertasnya dan membaca. Seindah apa Adiba dalam merangkai kata? Mungkin itulaj yang dipikirkan Busur. Namun, betapa terkejutnya. Selesai membaca, ia menjadi serba salah. Hatinya canggung hendak memanggil nama Adiba. Sampai akhirnya Adiba menyadari Busur berada di dekatnya bersama kertas yang lalai ia jaga.

                                      "Ja..Jangan.. percaya kertas terkutuk itu. Aku hanya iseng saja menulisnya. Tidak ada maksud apa-apa," Adiba tampak kualahan berkata.

                                   "Tidak ada yang salah dengan rasa. Jika kamu punya rasa padaku, itu wajar saja. Karena kita manusia yang dianugerahkan cinta. Tapi..." Ucapan Busur melemah.

                                  "Tapi Allah telah mengirimkan cinta yang sesungguhnya padamu. Ya, Gadis kota bernama Rembulan. Lembut dan cantik seperti namanya. Wajar saja jika sahabatku ini jatuh cinta pada gadis sepertinya. Tidak, kau mencintai gadis yang benar. Tidak sepertiku. Yang selalu dingin pada orang lain dan lebih memperdulikan anak-anak panah ini," ucap Adiba mencoba mengendalikan dirinya.

                                   "Tidak seperti itu Adiba. Pria mana yang tidak ingin memilikimu? Allah akan memberikan cinta yang tepat untuk gadis sepintarmu." Sahut Busur.

Adiba tersenyum kepedihan, nyatanya sekuat apapun niqab yang ia kenakan tidak mampu menutupi gurat kesedihannya.

                                       "Jika kau sungguh mencintainya. Maka jadilah pemanah. Fokus dan Lesatkan dengan bidikkan yang tepat. Kejarlah dia..." Ucap Adiba mencoba semangat dan ikhlas.

Busur menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Rembulan telah kembali dan aku belum sempat mengatakan rasa padanya. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi, semoga Allah mempertemukan ku dengannya," sahut Busur dan di balas dengan anggukan lemah dari Adiba.

*Jika Allah berkehendak pada hamba-Nya, waktu pun bukan menjadi alasan untuk menundanya. Sama seperti cinta, jika Allah telah memberikan satu panah cinta pada hamba-Nya, maka waktu bukan menjadi alasan.*

#CeritaGadisKecil

1 komentar:

@itsvennyy