Lifestyle Blogger Medan - Setiap harinya jagat media sosial, tidak lepas dari konten-konten viral. Unggahan berupa video maupun foto dikonsumsi sebagian besar pengguna karena dianggap menarik, unik, aneh ataupun ekstream. Apalagi di masa pandemi Covid-19, masyarakat lebih intens menggunakan media sosial daripada masa sebelumnya. Sayangnya, konten viral yang sering beredar tersebut berisikan hal-hal negatif, bahkan terkesan disengaja agar bisa viral.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat sepanjang tahun 2019 terdapat 430.000 aduan konten negatif sedangkan pada Juni 2020 terdapat 6.349 aduan. Angka ini terus bergerak secara masif selama masyarakat terus menggunakan media sosial tanpa memiliki pengetahuan literasi digital, etika bermedia sosial hingga aturan-aturan hukum mengenai digital yang berlaku.
Tidak jarang, sebagian besar konten viral di media sosial harus berujung dan berurusan dengan hukum. Melihat kondisi ini, ada banyak hal persoalan yang muncul dan perlu ditangani dengan serius, mulai dari minimnya etika bermedia sosial hingga aturan hukum siber yang dianggap masih lemah. Tidak sedikit pelaku pembuat atau penyebar konten viral negatif dengan mudah lepas dari jerat hukum kemudian hanya mengunggah video permintaan maaf kepada publik setelah apa yang diperbuat. Kondisi seperti itu sering terjadi sehingga membentuk mindset warganet dan beranggapan tindakan negatif di dunia maya adalah hal wajar. Minimnya pengetahuan literasi, etika bermedia sosial dan lemahnya penegakkan hukum siber melahirkan konten-konten viral negatif.
Konten
Nagatif Lebih Mudah Viral
Lantas mengapa konten
negatif lebih mudah viral? Jika kita mempelajari dari berbagai kasus konten
viral negatif yang telah terjadi, terdapat respon yang berlebihan dari pengguna
lainnya sehingga menjadikan sebuah konten negatif tersebut mudah viral dan
bereliweran di jagat media sosial. Menurut psikologi, pada dasarnya otak
manusia lebih mudah menangkap dan mengingat hal negatif daripada positif. Sama
halnya dengan sebuah pepatah bahwa kebaikan seribu kali akan dilupakan dengan
satu kali kesalahan. Indikasi tersebutlah yang dimanfaatkan pelaku konten
negatif untuk mencapai berbagai tujuan mulai dari ingin populer, panjat sosial,
mencari sensasi hingga menambah followers.
Respon berlebihan
dari warganet menjadi salah satu faktor yang mengundang orang-orang berpikir instan
untuk mencapai popularitas. Hal ini diamati dari berbagai kasus konten negatif
viral, warganet berbondong-bondong mengikuti akun media sosial pelaku dan berkomentar
negatif hingga akun pelaku menjadi populer dengan ribuan bahkan jutaan
followers. Setelah banyak followers, ada berbagai keuntungan yang bisa
didapatkan pelaku, mulai dari penghasilan melalui endorse hingga diundang
stasiun televisi.
Keuntungan tersesbutlah yang dimanfaatkan pelaku sehingga berpikir jangka pendek serta merasa akan mudah lepas dari jerat hukum. Tanpa sadar, respon berlebihan dari pengguna telah mendorong munculnya konten negatif lainnya untuk viral. Sebagai pengguna media sosial, alangkah baiknya menanggapi konten-konten viral dengan sewajarnya sehingga tidak akan ada keuntungan yang didapat si pelaku. Berkomentarlah sewajarnya, jangan sampai berkomentar dengan nada kebencian apalagi menghilang keluarga dan sanak saudara pelaku konten negatif tersebut.
Kasus
Konten Negatif yang Viral
Menilik kembali beberapa
kasus konten viral negatif yang membuat heboh jagat maya. Dimulai dari kasus
Youtubers sampah, tindakan yang dilakukan konten kreator negatif ini mengundang
amarah dan keresahan warganet di bulan Ramadhan lalu. Konten berbagi sembako
yang berisikan sampah mengharuskannya berhadapan dengan hukum. Namun, pada
akhir kasusnya sang kreator dinyatakan bebas dan mengunggah video permintaan
maaf. Lepas dari kasus yang dihadapi, nama Youtuber ini sudah terlanjur melekat
di pikiran masyarakat. Popularitasnya semakin naik dan followersnya bertambah,
tidak sedikit pula brand-brand ternama memanfaatkannya untuk media promosi.
Tidak berhenti pada
konten negatif sembako sampah, konten viral negatif lainnya pun silih berganti
mengisi media massa. Akhir-akhir ini, konten viral berdurasi singkat dua puluh
sembilan detik merekam ibu-ibu menggunting bendera merah putih, motif pelaku
adalah ingin membuat anaknya yang disabilitas jerah karena selalu membawa
bendera kemana-mana. Motif yang terdengar kurang masuk akal, walaupun resmi terancam
hukuman penjara lima tahun dan atau denda lima ratus juta, kasus seperti ini
menggambarkan bahwa Indonesia darurat moral dan norma. Demi bisa viral di media
sosial, bendera sebagai simbol negara pun tega dijadikan bahan lelucon.
Berbicara tentang
bendera merah putih, kasus konten viral negatif yang lebih keji terjadi
kembali. Masih dalam durasi singkat, konten tersebut sangat menghina sang
pusaka. Bendera merah putih dibakar, dicuci dengan air kaskus hingga gambar
presiden dan wakil presiden dicoret dan diinjak-injak. Jika kasus-kasus serupa
terus terjadi dan lolos dari jerat hukum, maka ke depannya orang-orang akan
melakukan banyak hal yang lebih gila demi popularitas di jagat maya.
Mari
Berpikir Waras
Kini, siapa saja,
tidak memandang umur dan jabatan bisa mengakses media sosial. Dilansir dari
Katadata, Indonesia dinobatkan sebagai negara keempat pengguna media sosial
terbanyak di dunia pada tahun 2019. Belajar dari berbagai fenomena konten
negatif viral, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat lebih serius menanggapi kasus-kasus
ini agar konten ‘sampah’ tidak mudah viral dan berlalu lalang di dunia maya.
Jika media sosial terus dibanjiri secara masif konten tidak mendidik, bisa
memberikan contoh yang tidak baik kepada generasi muda. Kalau generasinya sudah
terlalu banyak melihat hal negatif, akan sulit negara ini bisa menjadi negara
maju.
Tidak hanya
pemerintah, masyarakat khususnya orangtua perlu memberikan edukasi dan mendampingi
anak secara ketat dalam bersosial media. Hal tersebut bisa menjadi langkah
sederhana namun tetap efektif dalam mengawal perilaku digital anak. Peran
religius pun harus perkuat agar anak-anak yang masih labil dalam berpikir tidak
melakukan tindakan gegabah di media sosial. Kekompakan pemerintah dan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam hal membanjiri media sosial dengan gerakan konten
positif.
Pemerintah juga harus menggali lebih jauh lagi sistem hukum siber agar pelaku konten viral negatif jerah dan menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya untuk bertindak. Konsisten dalam menegakkan aturan yang berlaku pun sangat diperlukan agar masyarakat tidak menganggap sepele hukum. Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai etika bermedia sosial perlu ditingkatkan.
Baca juga: 3 Cara Tetap Produktif Berkarya Meskipun Kesibukan Melanda!
Gerakan memberi edukasi hukum siber kepada masyarakat perlu dapat dijadikan langkah mencegah konten negatif. Misalnya pelatihan dari organisasi ke organisasi, komunitas ke komunitas hingga rumah ke rumah. Kemudian, diperlukan pembentukan satgas khusus dari kalangan muda untuk memberikan edukasi etika bermedia sosial dan ancaman-ancaman hukum yang bisa menjerat. Setidaknya, dengan langkah tersebut konten viral negatif bisa diminimalisirkan dari jangkauan penduduk Indonesia.
#Ceritagadiskecil
Tidak ada komentar: